Bukan Terkena  Covid 19 , Seorang Kakek Warga Adat Asiki Tanah Papua Tewas Dibunuh Aparat

oleh manager
585 tampilan
Bagikan berita ini

 

Di Tulis Oleh Anggota Parlemen RI Asal Tanah Papua   Willem Wandik, S.SOS

Untuk kesekian kalinya, darah dan air mata tertumpah di Tanah Papua, untuk membela hak atas kebun dan tanah adatnya, seorang warga adat Asiki harus meregang nyawa akibat kekerasan yang dilakukan oleh “oknum” aparat kepolisian yang ditugaskan untuk pengamanan pamkarsa di wilayah yang disengketakan oleh masyarakat adat pemilik kebun dengan perusahaan yang mengklaim ijin pengelolaan kawasan.. Sampai kapan peristiwa berdarah seperti ini, terus mengorbankan warga sipil yang tidak bersalah..

Di negeri-negeri Melanesia, manusia berambut keriting dan berkulit hitam dapat mati setiap saat, bukan karena serangan infeksi penyakit mematikan “seperti virus Covid”, melainkan mendapatkan perlakuan kekerasan dari “oknum” aparat bersenjata dengan latarbelakang yang selalu bersinggungan dengan penguasaan obyek bisnis (baik swasta/pemerintah).

Lonceng kematian dalam kasus yang serupa terus berulang di atas Tanah Papua, darah yang mengalir – kehidupan anak manusia yang direnggut, seperti telah menjadi Kutukan Sumber Daya Alam.. Dalam kolom berita kematian warga sipil versus kekerasan aparat, selalu bersinggungan dengan masalah sengketa lahan masyarakat adat, benturan akibat penguasaan konsesi wilayah perkebunan dan pertambangan, rebutan akses pengelolaan hasil kayu dan hutan, ekspansi pembangunan dalam sudut pandang investasi kaum pemodal, merawat objek vital nasional, dan lain sebagainya..

Ketika pelaku adalah bagian dari organ pengamanan negara, maka rakyat sipil berkulit hitam dan berambut keriting akan selalu tidak berdaya, berhadapan dengan paradoks hukum yang dijalankan oleh institusi yang mengendalikan hukum dan keadilan..

Seorang kakek dan juga kepala rumah tangga tumpuan keluarga besar dalam marganya, yang menggantungkan kehidupannya dari bercocok tanam dan mengolah hasil kebun sendiri, untuk makan dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga, bukanlah “KKB” atau afiliasi gerakan makar bersenjata yang harus di habisi nyawanya oleh oknum aparat keamanan..

Ada banyak peristiwa seperti ini dan terus berulang di Tanah Papua, dan tidak pernah seorang pun dari oknum aparat yang terlibat, disaksikan oleh masyarakat/tokoh adat/terlebih lagi pemerhati HAM di Tanah Papua, mereka diadili atau dihadapkan pada peradilan hukum sipil..

Sesudah duka dan air mata di semayamkan dalam peti mati dan upacara keagamaan, secepat itu pula, Kasus Kasus Kematian warga sipil ini dilupakan, dan dipandang biasa biasa saja.. Negara tidak boleh membiarkan oknum aparat keamanan yang bekerja untuk kepentingan pengamanan korporasi, bebas begitu saja menghilangkan nyawa warga sipil, dengan dalih dan alasan apapun..

Saatnya, Hukum ditegakkan untuk semua golongan diatas Tanah Papua.. Sejatinya, tidak ada seorang abdi negara yang kebal hukum, sekalipun dengan dalih menjalankan tugas pengamanan pamkarsa di lokasi yang diklaim sebagai milik perusahaan swasta (pada asasnya menjadi sengketa tanah adat dan keperdataan)..

(PUISI SENJA DI SORE HARI – MENDENGAR KABAR SEORANG ANAK NEGERI MATI TEWAS TERBUNUH)..

Biarkan “tajamnya pena kebenaran” menulis setiap “realitas” yang disembunyikan, oleh mereka yang berharap, bau busuk perbuatan amoral (tidak bermoral), agar dilupakan dan diabaikan oleh banyak orang di negeri ini..

Secarik kertas digital yang menuliskan ucapan bela sungkawa atas tewasnya seorang anak manusia, di atas negeri ras melanesia, karena membela hak kesulungannya, hak Adat atas kebun dan tempat hidup anak cucu keturunannya. Biarkan para penguasa yang menggenggam “pisau hukum dan keadilan” mengetahui berita tentang kematian ini.. Karena mereka sudah lama tidak bisa membedakan, mana manusia yang mati, dan mana nurani mereka yang mati.

 

Reporter Sandra Charlotte

Berita Lainnya untuk Anda

Tinggalkan Komen