Jakarta (Jenderalnews.Com ) – Ketua Komisi I DPR RI menyoroti tajam aksi kekerasan yang dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua. Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid meminta Pemerintah tidak setengah hati menangani kekerasan tersebut.
“Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh KKB perlu sikap tegas segera. Pemerintah jangan setengah hati dalam menyelesaikan rangkaian kekerasan yang dilakukan oleh KKB
Meutya menilai perlu adanya penanganan yang lebih komprehensif dalam mengatasi KKB yang terus melakukan aksi-aksi keji. Sebab, ia melihat Pemerintah sejauh ini tidak memiliki desain penyelesaian masalah di Papua secara menyeluruh
“Adanya rangkaian serangan oleh KKB yang menyebabkan cukup banyak prajurit TNI dan warga sipil menjadi korban menunjukkan Pemerintah selama ini tidak memiliki desain penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh,” ucapnya.
Meutya juga menyoroti keputusan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang meningkatkan status operasi Siaga Tempur di Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan. Status Siaga Tempur itu dikeluarkan menyusul gugurnya sejumlah prajurit saat melakukan operasi pencarian pilot Susi Air akibat serangan KKB.
“Kalau mau ditingkatkan jadi Siaga Tempur, tapi pendekatannya penyelesaiannya masih setengah hati, yang akan jadi korban para prajurit TNI dan warga sipil,” tegas Legislator dari Dapil Sumatera Utara I itu.
Lebih lanjut, Politisi Fraksi Partai Golkar ini pun menyampaikan belasungkawa atas gugurnya Pratu F dan beberapa personel TNI lainnya yang bertugas dalam operasi pencarian pilot Susi Air. Dia meminta tindak kekerasan itu harus dituntaskan.
“Sudah banyak darah dan air mata yang jatuh akibat keberingasan dari KKB. Pilu seperti ini harus segera dituntaskan. Jangan sampai ada korban jiwa lagi dari masyarakat atau aparat karena KKB,” tutur Meutya.
Selain itu, Meutya menilai Pemerintah bisa menentukan pendekatan terbaik untuk menumpas KKB lewat kolaborasi dengan sejumlah pihak terkait. Apalagi berdasarkan keterangan dari TNI, KKB merekrut remaja di wilayah Papua untuk menjadi anggota sehingga harus diantisipasi sebaik-baiknya.
“Pemerintah dengan informasi yang dihimpun oleh intelijen dan masukan dari tokoh masyarakat lokal dapat menentukan pendekatan apa yang paling tuntas untuk memutus rangkaian kekerasan yang dilakukan KKB,” sebutnya.
Meutya juga berharap semua pihak saling bekerja sama agar tidak berjalan sendiri-sendiri dalam upaya penumpasan aksi-aksi teror KKB. “Libatkan juga semua unsur yang mewakili masyarakat Papua sambil terus mengedepankan pendekatan sosial, politik dan ekonomi kesejahteraan,” tutupnya
Sementara itu Marinus Yaung Dosen Universitas Cenderawasih dalam tulisanya mengatakan, Egianus Kogoya Ingin Mendesain ” Pembantaian Santai Cruz ” Model Papua di Distrik Mugi, Nduga, Papua
Setelah menyadera Pilot Susi Air Philip Mark Merthenz dan menjadikannya sebagai instrumen diplomasi meminta dukungan komunitas internasional untuk kemerdekaan Papua, yang dalam perkembangannya mengalami kegagalan, karena bukan simpati dan empati yang didapat, melainkan kecaman dan penolakan masyarakat internasional terhadap aksi penyanderaan kelompok Egianus Kogoya tersebut.
Masyarakat internasional adalah masyarakat logis dan ilmiah. Komunitas yang paham dengan baik aturan main dalam konflik dan perang yang sudah diatur oleh hukum perang internasional. Menjadikan masyarakat sipil atau pekerja kemanusian yang disandera sebagai alat propaganda dan alat politik para pihak yang berkonflik dan berperang, adalah pelanggaran serius terhadap hukum internasional konvensi Den Haag 1907 dan konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahan keempatnya. Ini ketentuan hukum internasional yang tidak bisa diabaikan atau tidak di indahkan.
Sehingga salah satu contoh respon komunitas internasional terhadap kasus penyanderaan ini, misalnya Menteri Luar negeri Australia Penny Wong mengecam dan mengutuk aksi penyanderaan pilot susi air oleh kelompok Egianus Kogoya
Karena sudah gagal dalam menjadikan sandera sebagai alat diplomasi kemerdekaan Papua, kelompok Egianus Kogoya membuat skenario lain, dengan mengorbankan masyarakat sipil di distrik Mugi, Nduga, Papua.
Masyarakat distrik Mugi, dan sebagian dari distrik Paru, dan kampung – kampung sekitarnya, dimobilisasi dengan ancaman todongan senjata untuk menyerang aparat keamanan TNI di pos keamanan distrik Mugi. Kurang lebih terdapat 36 anggota TNI dari kesatuan Kostrad dan Kopassus yang bertugas di pos tersebut.
Masyarakat sipil Nduga dijadikan tameng peluru aparat keamanan. Masyarakat sipil Mugi, terutama perempuan dan anak – anak, dikerahkan dan bergerak dari berbagai sisi untuk menyerang aparat keamanan yang sedang mempersiapkan diri untuk buka puasa menjelang magrib.
Aparat keamanan TNI tidak siap merespon situasi dilemma akibat serangan mendadak oleh ibu – ibu dan anak – anak, disertai tembakan – tembakan dari belakang massa sipil oleh kelompok Egianus Kogoya.
Doktrin TNI ” To kill or to be killed ” menjadi ragu – ragu untuk ditegakkan. Kalau doktrin to kill or to be killed ditegakkan atau di kedepankan, maka pembantaian santai cruz jilid dua, atau tepatnya pembantaian berdarah Mugi Nduga, terhadap masyarakat sipil Papua, akan terjadi.
Yang mati kena tembak peluru aparat TNI, bisa mencapai angka 500 – 1000 jiwa, sesuai perkiraan kasar penduduk di distrik Mugi dan sekitarnya. Kalau sampai terjadi tanggal 15 April 2023, ada ratusan sampai ribuan masyarakat sipil Papua dibantai aparat TNI, maka Selandia Baru, Australia, dan Inggris, serta tentunya Amerika Serikat, yang selalu memainkan strategi offshore balancing dalam isu Papua di Pasifik, akan mendesak dewan Keamanan PBB untuk menegakkan prinsip hukum internasional Responsibility to Protect, dalam bentuk intervensi kemanusian di Papua.
Referendum Papua untuk penentuan nasib sendiri mungkin bisa langsung segera digelar di Papua. Inilah sebenarnya yang didesain kelompok Egianus Kogoya di balik kasus penyerangan pos keamanan TNI di distrik Mugi, Nduga, Papua.
Untuk menggagalkan skenario kelompok Egianus Kogoya dan para aktor intelektual di belakangnya, harga yang bayar cukup mahal. Ada 5 prajurit terbaik TNI yang harus gugur demi mencega inrernasionalisasi isu Papua Merdeka dari peristiwa Mugi berdarah ini.
Demikian tulisan saya ini untuk membongkar kejahatan terhadap kemanusian dan kejahatan perang yang diskenariokan kelompok Egianus Kogoya untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka di balik kasus Mugi berdarah, pada hari sabtu, 15 April 2023.
Di tempat terpisah HYU sapaan akrab dari Hendrik Yance Udam Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Gerakan Rakyat Cinta Indonesia ( Dpn Gercin Indonesia )Tokoh Nasional asal Papua yang di hubungi media ini melalui telpon selulernya ( sabtu 29 April 2023) saat berada di Papua
HYU mengatakan, situasi Kamtipmas Di Provinsi Papua tetap kondusif dan pemerintahannya tetap berjalan dengan normal dan masyarakat melakukan aktivitas seperti biasanya. Sebab TNI dan Polri tetap masi mengendalikan situasi keamanan di Papua.
Pasca kelompok kriminal bersenjata menyerang anggota TNI Angkatan Darat yang sedang bertugas di wilayah Mugi-Mam, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, Sabtu (15/4/2023) sore.
Papua saat ini sudah menjadi 6 Provinsi yaitu Provinsi Papua,Provinsi Papua Selatan,Provinsi Papua Pegunungan,Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Barat Daya.
Daerah konflik saat ini hanya terjadi di kabupaten Nduga Provinsi Papua Pegunungan .Oleh sebab itu kita tidak bisa mengklaim bahwa Papua pada umum konflik dan tidak kondusif.
HYU menjelaskan selama ini dalam menyelesaiakan konflik di Papua Pemerintah terkesan berjalan sendiri dan tidak merangkul tokoh – tokoh Papua yang sangat vokal bersuara untuk isu – isu Papua dalam NKRI.
Untuk itu kedepannya saya sarankan agar pemerintah kiranya dapat merangkul tokoh – tokoh tersebut dan menjadikan mereka mitra stratgis dalam meyelesaikan persoalan konflik Papua selama ini. Karena Tokoh – Tokoh tersebut juga memiliki konstituen masyarakat akar rumput di Papua.
Menurut HYU secara Hukum Internasional melalui Resolusi PBB nomor 2504 ( XXIV ) Tanggal 19 November 1969 Papua adalah merupakan bagian Integral dari NKRI.Namun secara Geopolitik politik Papua belum final karena isunya selalau di gaunkan oleh Negara Barat dan Negara di Pasific Selatan
Sebab motif utama mereka adalah Sumber Daya Alam Papua yang melimpah dan sangat Geostrategis. Sebab pintu masuknya untuk melepaskan papua dari NKRI yaitu melalui isu – isu pelangaran HAM yang terjadi di Papua ,”Kata HYU
Lebih lanjut HYU menjelaskan,” ada 9 Negara yang memberikan dukungan terhadap Papua Merdeka. Itu baru yang terdata belum lagi yang belum terdata karena masi banyak lagi Negara-Negara Barat yang mendukung Papua terlepas dari NKRI,”Jelas HYU
Sejumlah pejabat dan politikus di sejumlah negara sempat membuat Indonesia gerah karena mendukung Papua merdeka.Isu ini mencuat setelah tokoh sekaligus aktivis gerakan Papua merdeka, Benny Wenda, mengklaim Selandia Baru adalah pendukung kuat Papua Barat pada Rabu (22/2).
Hal itu diutarakannya saat diwawancarai Radio New Zealand (RNZ) soal penyanderaan pilot Susi Air yang berkewarganegaraan Selandia Baru, Philip Mark Mehrtens.
Dalam wawancara itu, Benny menyerukan Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membebaskan Mehrtens karena Selandia Baru merupakan pendukung Papua Barat. Ia bahkan mengklaim Selandia Baru dan Gerakan Papua Merdeka berhubungan sangat baik.
HYU juga menyarankan agar supaya pemerintah pusat dapat melakukan langkah – langkah preventif untuk penaganan isu Papua dan jangan kita mengangap reme tentang persoalan Papua yang semakin membuming.
Sebab persoalan Papua bagaikan bara api dalam sekam atau bagaikan bom waktu yang setiap saat bisa meledak sesuai dengan kepetingan sponsor.
Oleh sebab itu di perlukan Diplomasi Politik Internasional yang persuaasif dalam menekan lajunya isu Papua Merdeka yang berkembang di Dunia Internasional,”Saran HYU di balik telpon selulernya
HYU meminta kepada aparat penegakan hukum agar supaya berhati – hati dalam melakukan penegakan hukum kepada Egianus Kogoya karena mereka juga sedang melakukan strategi jebakan agar supaya memancing aparat TNI dan POLRI untuk bertindak brutal
Dalam penegakan hukum sehingga bisa masuk dalam jebakan HAM dan mereka bersuara di Dunia Internasional bahwa TNI dan POLRI melakukan pelangaran HAM bagi masyarakat Papua.
Ditambahkan HYU ini adalah hal – hal yang di lakukan secara politik untuk melegitmasi pergerakan kejahatan kekerasan yang di lakukan secara masif di wilayah Papua dengan berlindung di balik isu pelengaran HAM Tanah Papua,”Koar HYU.
HYU berharap kepada masyarakat di Tanah Papua dan tokoh – tokoh politik yang ada di Tanah Papua untuk dapat memberikan dukungan kepada aparat penegakan hukum TNI dan POLRI untuk melakukan penegakan hukum kepada KKB yang ada di Papua.
HYU juga meminta kepada para aktivis aktivis HAM di Indonesia dan terlebih khusus di Papua untuk segera menetapkan KKB pimpinan Engianus Kogoya sebagai pelaku pelangaran HAM berat sebab sudah melakukan kekerasan dan menghilangkan nyawa warga sipil dan TNI dan Polri.
Para aktivis HAM juga harus objektif dan netral dalam mengelola isu – isu HAM di Papua jangan terlalu tendensius terhadap TNI dan POLRI yang sedang melakukan tugasnya untuk menjaga keamanan di Papua ,”Tutup HYU