Dicari Pejabat Gubernur Papua

oleh manager
125 tampilan
Bagikan berita ini

Stanley Adi Prasetyo

Penangkapan Gubernur Papua Lukas Enembe oleh KPK pada 10 Januari 2023 menyisakan sejumlah problem. Upaya perlawanan pendukung Lukas Enembe pasca-penangkapan memang telah berhasil diatasi oleh aparat keamanan setempat. Kini yang tersisa adalah problem kekosongan kursi gubernur. Sebuah masalah yang bila tak ditangani dengan hati-hati akan menyulut persoalan baru di tengah situasi menjelang masa kampanye dan Pemilu 2024 yang hanya dapat terlaksana apabila kondisi sosial, politik, dan keamanan berada dalam situasi kondusif.

Sejak Lukas Enembe ditangkap dan dibawa ke Jakarta, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua Mohamad Ridwan Rumasukun ditunjuk merangkap jabatan menjadi Pelaksana Harian (Plh) Gubernur Provinsi Papua pada 11 Januari 2023. Hal ini dikarenakan Wakil Guberbur Papua Klemen Tinal meninggal dunia pada 21 Mei 2021. Perangkapan jabatan ini sudah berlangsung hampir 8 bulan lamanya.

Kekosongan jabatan pejabat gubernur dan perangkapan yang ada ditengarai telah membuat pelayanan publik oleh pemerintahan Provinsi Papua tak berjalan efektif. Apalagi  sejumlah pos-pos anggaran keuangan dibekukan sementara untuk kepentingan audit guna pengusutan kasus korupsi yang diduga dilakukan Lukas Enembe.

Dalam model pengelolaan anggaran belanja daerah (APBD) di tingkat provinsi seorang gubernur adalah pajabat pengguna anggaran (PA), sedangkan Sekda adalah seorang Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). PA adalah pembuat dan penyusun kebijakan strategis, sedangkan KPA adalah pelaksana penggunaan anggaran yang ditunjuk PA untuk merealisasikan kebijakan yang telah ditetapkan.

Sudah saatnya menteri dalam negeri perlu segera menindaklanjuti mengajukan usulan nama seorang Pejabat (Pj) Gubernur untuk Provinsi Papua kepada presiden. Presiden dan Wapres butuh segera merespon dan memroses nama-nama yang diajukan. Pemerintah tak boleh membiarkan kevakuman terjadi berlama-lama.

Memang masa jabatan Lukas Enembe baru akan berakhir pada September 2023 nanti. Namun sekitar sebulan lagi partai akan mendaftarkan nama pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang secara serentak juga akan mendaftarkan nama para calon kepala daerahnya mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota. Provinsi Papua membutuhkan seorang Pj gubernur yang mampu menyiapkan dan mewujudkan situasi yang kondusif bagi pelaksanaan Pemilu 2024.

Pihak Kementerian Dalam Negeri, melalui Mendagri Tito Karnavian telah mengirimkan surat tertanggal 21 Juli 2023 dengan Nomor: 100.2.1.3/3734/SJ tentang usulan nama Penjabat Gubernur kepada Ketua DPRD, termasuk Ketua DPR Papua. DPR Papua mengusulkan 3 nama yang semuanya adalah orang asli Papua (OAP) yang dari sisi pengalaman, kepangkatan, dan rekam jejak dianggap layak. Konon nama-nama sudah diproses oleh Direktorat Jendral Otonomi Daerah Kemendagri.

Belakangan muncul kehebohan di kalangan masyarakat papua karena surat Kemenko Polhukam bocor. Dalam sebuah surat yang dikeluarkan oleh Kemenko Polhukam RI Nomor: R-17/KP.04.00/6/2023 tanggal 20 Juni 2023 tentang usulan calon Pj Gubernur Papua pihak Kemenko Polhukam nama lain, yaitu pejabat dari lingkungan Kemenko Polhukam sendiri yang bukan OAP dan berlatar-belakang militer. Masyarakat dan sejumlah tokoh Papua menolak keras usulan ini. Sembilan Badan Eksekutif Universitas Cendrawasih, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Jayapura dan juga sejumlah tokoh adat menyatakan mendukung  DPR Papua yang mengusulkan OAP untuk jadi Pj gubernur Papua.

Isu OAP barangkali memang perlu mendapat perhatian. Hal ini dikarenakan dalam proses penyusunan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan juga UU No 2 Tahun  2021 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 21 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua eksistensi OAP mendapatkan perhatian dan tempat khusus dalam sejumlah pasal. Pasal 12 huruf A, UU No 2 Tahun 2021 menyebutkan bahwa yang dapat dipilih menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah warganegara Republik Indonesia Orang Asli Papua (OAP).

Pada tahun 2000, saat pemerintahan Presiden Gus Dur, saya sempat  ikut dalam berbagai diskusi dan pertemuan dengan sejumlah tokoh masyarakat di Sentani, Abepura dan Jayapura yang membahas tentang rancangan UU Otsus Papua. Salah satu pembahasan panjang adalah terkait siapa OAP dan mengapa perlu memberikan tempat kepada OAP, bukan hanya untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, tapi juga untuk maju sebagai pemimpin.

Otsus Papua memang tak bisa dilepaskan dengan OAP. Begitu juga OAP selalu terkait dengan keberlangsungan Otsus Papua. Papua adalah sebuah wilayah dimana berlaku kebijakan otonomi khusus. Seluruh kebijakan politik semestinya berlandaskan pada roh dan semangat otonomi khusus, sebagai pertanggung-jawaban moral politik. Dan sebagai bentuk konsistensi dalam mengimplementasikan ruh dan semangat otonomi khusus.

Pengistimewaan OAP memang bisa digolongkan sebagai sebuah kebijakan diskriminatif. Namun bila ditelaah lebih lanjut, keberadaan OAP lebih merupakan sebuah diskriminasi positif yang berada dalam bingkai kebijakan afirmatif untuk mendorong kemajuan, percepatan, dan  OAP untuk mengejar ketertinggalan dari saudara-saudara mereka, sesama anak bangsa Indonesia. Kebijakan seperti ini juga diterapkan si beberapa negara lain. Seperti galnya kebijakan terhadap orang Aborijin di Australia.

Kondisi kini, pasca-penetapan dan penangkapan Lukas Enembe, anggaran dan bantuan APBD yang tadinya dialokasikan untuk sejumlah pos kegiatan dikurangi atau malah ada yang distop. Termasuk dukungan anggaran untuk Kantor Perwakilan Komnas HAM Papua, Komisi Informasi Privonsi Papua, sejumlah Dewan Adat,  dan lain-lain.

Semua orang tahu bahwa Provinsi Papua dalam berbagai indeks menempati sebagai provinsi dengan indeks yang selalu berada di urutan 3 atau 5 terbawah dari 34 provinsi yang ada. Mulai dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), Indeks Kemerdekaan Pers (IKP), Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP), Indeks Tata Kelola Pemerintahan Daerah (TKPD), Indeks Tata Kelola Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Indeks Kebahagiaan, Indeks Kemiskinan, Indeks Tingkat Pengangguaran Terbuka, dan sejumlah indeks lainnya. Masalah penyanderaan pilot Susi Air berkewarganegaraan Selandia Baru, Philip Mark Mehrtens, hingga kini juga belum ada jalan ke luarnya.

Masa jabatan PJ Gubernur Papua memang hanya akan singkat sekali. Namun posisinya sangat vital. Mungkin dalam memilih dan menetapkan PJ Gubernur Papua ada beberapa yang perlu dipertimbangkan. Selain kesetiaan kepada NKRI yang tak boleh disangsikan, pengalaman dan rekam jejak yang mumpuni dari calon; juga dibutuhkan figur yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan semua pihak, transparan dan anti-korupsi serta mengharus-utamakan hak asasi manusia. Figur PJ Gubernur Papua semestinya adalah orang yang memiliki jejaring luas; mampu berdialog dengan masyarakat, kelompok adat, kelompok agama, dan juga dengan jajaran TNI dan Polri. Di luar itu figur yang nanti dipilih harus memiliki banyak inovasi utuk memajukan Papua, termasuk mengantar masyarakat Papua melakukan transformasi digital di wilayah Papua.***

Penulis adalah pengamat masalah Papua, Ketua Dewan Pers 2016-2019.

Berita Lainnya untuk Anda

Tinggalkan Komen