Kasus Dugaan Korupsi Jeny Usmani Terhalang Di Kejati Papua

oleh manager
145 tampilan
Bagikan berita ini

Jayapura (Jenderalnews.com)  – Proses hukum kasus dugaan korupsi Dana Sentra Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika TA. 2019 dengan tersangka Jeny Ohestina Usmany dan Melany Marjolein Titaley yang ditangani di Polda Papua masih terus bergulir.

Bahkan kini telah melalui tahapan koordinasi dan supervisi dengan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI. Dan sementara diproses untuk masuk dalam data perkara Supervisi KPK-RI.

Belakangan ini, muncul kabar baru. Hal itu berkaitan dengan kabar soal adanya upaya perintangan yang dilakukan oleh Tim Jaksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua terhadap proses hukum kasus korupsi Dana Sentra Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika TA. 2019.

Dan kini sejumlah kalangan mulai menyoroti kabar itu. Benarkah demikian?

Kabar upaya perintangan itu muncul lantaran Tim Jaksa Kejati Papua menolak hasil perhitungan kerugian negara oleh BPKB Perwakilan Papua yang jadi acuan Polda Papua selaku penyidik dalam kasus korupsi Dana Sentra Pendidikan Mimika.

Meski, kasus ini telah naik ke tahap penyidikan dan dua orang sudah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan hasil audit lembaga BPKP Perwakilan Papua.

Anehnya, Tim Jaksa Kejati Papua malah tetap pada pendirian menggunakan data Inspektorat Kabupaten Mimika sebagai data pembanding hasil audit BPKP Perwakilan Papua.

Fakta ini terungkap saat berlangsung ekspose di Ruang Rapat Tindak Pidana Khusus Kejati Papua pada 10 Agustus 2022 pukul 10.15 Wit sampai dengan selesai sebagaimana data yang diperoleh Koreri.com dari sumber terpercaya media ini.

Peserta ekspose dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua yaitu 1. Jaksa Madya Irwanuddi Tadjuddin, SH, MH 2. Jaksa Madya Jhon Ilef Malamassam, SH, MH 3. Jaksa Madya Takkas Marudut Simanjuntak, SH, MH 4. Jaksa Muda Valerianus C. D, Sawaki, SH 5. Jaksa Madya Renaldy Palyama, SH, MH 6. Jaksa Madya M. Ruslan Marasabessym SH, MH dan 7. Jaksa Muda Ricky Raymond Biere, SH, MH.

Sementara dari Polda Papua diantaranya 1. Kombes Pol. F. S. Napitutpulu, SIK 2. AKBP Moh. Dafi Bastomi, SH, SIK, MIK 3. AKP. Abdul Karim I. Sabtu, SH 4. IPDA Sudarmono Siagian, SE, SH, MH 5. AIPDA Taufik 5. Bripka Rachman Majid, SE dan beberapa penyidik lainnya.

Adapun Jaksa Kejati Papua saat ekspose bersama dengan Penyidik Polda Papua terkait kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Dana Sentra Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika TA. 2019 menyimpulkan sebanyak 2 poin yaitu:

  1. Terdapat perbuatan melawan hukum/actus reus yang dilakukan oleh tersangka Jeny Ohestina Usmany dan tersangka Melany Marjolen Titaley namun masih dalam ranah administrasi karena belum ditemukan niat jahat/mens rea dari tersangka Jeny Ohestina Usmany dan tersangka Melany Marjolen Titaley.
  2. Dugaan kerugian negara terjadi bukan karena niat jahat/mens rea dari tersangka Jeny Ohestina Usmany dan tersangka Melany Marjolen Titaley melainkan karena adanya perbedaan metode perhitungan yang dilakukan antara APIP/Inspektorat dengan Auditor BPKP dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi Penyalagunaan Dana Penyelenggaraan Sentra Pendidikan pada OPD Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika TA 2019.

Maka tak heran, kasus yang telah dilaporkan ke Polda Papua sejak 2020 lalu itu akhirnya mandek di tengah jalan karena Jaksa tak kunjung menetapkan berkas perkara P-21 hingga saat ini.

Pasalnya permintaan Jaksa Kejati Papua ini tak juga dituruti karena penyidik Polda Papua tetap mengacu pada hasil perhitungan kerugian Negara yang dilakukan BPKP Perwakilan Papua.

Singkatnya, Polda Papua kemudian meminta KPK melakukan supervisi atas kasus yang ditanganinya.

Kaitan dengan kabar upaya perintangan oleh Tim Jaksa Kejati Papua, langsung mendapat respon keras dari Praktisi Hukum Karel Riry, SH, M.Th, S.Apt.

“Jadi begini, Polda Papua melakukan penyelidikan itu kan proses awal pengumpulan bahan keterangan atau pulbaket dan kemudian dinaikkan menjadi penyidikan. Itu berarti sudah terdapat dua alat bukti yang menunjukkan bahwa terjadi adanya kerugian negara akibat karena penyimpangan atau bahasa kasarnya korupsi,” urainya kepada media ini melalui telepon selulernya, Jumat (6/10/2023).

Lanjut Riry, bahwa terkait kerugian negara maka yang berhak menentukannya adalah institusi yang berkepentingan untuk itu yaitu BPK atau BPKP. Kedua institusi ini memiliki orang-orang yang mempunyai keahlian atau punya sertifikasi eksaminasi dan investigasi terhadap kerugian negara.

“Nah, kalau kemudian Jaksa lalu mengalihkan dengan memberi petunjuk bahwa harus sesuai data Inspektorat, maka itu adalah keliru. Apakah pada tingkat kabupaten, provinsi atau tingkat pusat, yang namanya Inspektorat itu adalah melakukan pengawasan internal untuk mengetahui atau melihat apakah dalam proses itu seluruh pemenuhan administrasi telah terpenuhi dalam proses pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara. Itu tugas Inspektorat! Kalau belum memenuhi standar maka Inspektorat menyuruh melakukan perbaikan-perbaikan administratif. Mereka itu punya tugas melakukan pengawasan atas seluruh proses yang berlangsung selama satu tahun berjalan dan seluruh proses-proses administrasi dalam lingkup pemerintahan secara internal, mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat pusat,” urainya.

Tetapi soal kerugian negara berarti ada penyimpangan, Inspektorat tidak punya kewenangan secara substansial yang mengatakan bahwa kerugian negara atau tidak terjadi kerugian negara.

“Yang punya kewenangan substansial untuk menyatakan ada kerugian negara adalah institusi yang terkait dengan kerugian negara itu atau penggunaan uang negara yaitu BPK atau BPKP. Dan kedua lembaga ini memiliki spesifikasi atau keahlian untuk melakukan eksaminasi atau investigasi atas penggunaan anggaran,” tegasnya.

Mantan Pengajar Hukum Unpatti Ambon ini lantas menilai adanya ketidakberesan dalam penanganan perkara ini oleh Kejati Papua.

“Ini yang perlu dipertanyakan, ada apa di balik konspirasi antara Jaksa penyidik dalam hal ini Jaksa penyelidik untuk melakukan penuntutan dalam kasus Korupsi Sentra Pendidikan Mimika ini untuk kemudian memberikan petunjuk bahwa Polda Papua harus berpatokan pada Inspektorat? Ini yang punya kewenangan untuk menghitung kerugian negara kok dikembalikan kepada yang punya kewenangan untuk mengatur tentang pemenuhan administrasi. Ini berarti ada sesuatu yang tidak beres. Saya tegaskan sekali lagi, ada sesuatu yang tidak beres,” kecamnya.

Bahkan Riry secara tegas menyatakan, bahwa dinilai dari aspek penegakan hukum maka Jaksa penuntut ini bisa dikategorikan telah melakukan Obstraction Of Justice, menghalang-halangi jalannya proses hukum.

“Ada apa sampai Jaksa memberikan petunjuk seperti itu,” tanyanya.

“Ini sudah bukan dugaan perintangan, tetapi Jaksa telah melakukan perintangan karena kewenangan yang ada pada BPKP itu sudah diabaikan untuk kemudian menggunakan Inspektorat yang menyatakan bahwa tidak ada kerugian Negara. Ini namanya perintangan, Jaksa jelas-jelas telah melakukan Obstraction of Justice,” tegas pria Lulusan Mexico ini.

Olehnya itu, dia mengaku sangat mendukung jika masyarakat atau pelapor yang merasa dirugikan dalam kasus ini melaporkan Jaksa.

“Bisa lapor ke KPK atau langsung bisa juga ke Polisi. Buktinya di mana? Kan ada bukti di polisi terkait petunjuk Jaksa untuk alihkan itu. Dan kemudian bukti Inspektorat mengatakan tidak ada kerugian. Pembandingnya di mana, komparasinya dimana? Ambil bukti BPKP bandingkan dengan data Inspektorat lalu mulai periksa maka akan ketahuan itu,” pungkasnya.

Ketua Perkumpulan Penggerak Aspirasi Masyarakat Minoritas Indonesia Maju (2PAM3) Kabupaten Mimika Antonius Rahabav dalam pernyataannya kepada Koreri.com, juga menanggapi langsung soal hasil ekspose atas perkara yang dilaporkan pihaknya.

Rahabav menyoroti benar gelar perkara antara Jaksa Penuntut Umum Kejati Papua dan Penyidik Polda Papua terkait dengan kasus dugaan korupsi Dana Sentra Pendidikan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika TA 2019.

Pasalnya, Jaksa menyimpulkan tidak ada kerugian negara karena mengacu pada hasil audit Inspektorat Pemkab Mimika dan bukan hasil audit BPKP Perwakilan Papua yang menjadi acuan penyidik Polda Papua.

“Ini yang menjadi persoalan, bahwa sekarang kasus sudah naik tahap penyidikan dan sudah ditetapkan tersangka. Mekanisme hukumnya itu sesuai permintaan penyidik Polda Papua untuk lembaga yang menghitung kerugian negara dan yang dipakai adalah lembaga BPKP Perwakilan Papua maka itu berkas perkara sah dan harus P-21,” bebernya.

Anehnya, lanjut Rahabav, kenapa malah Jaksa Kejati Papua menggunakan dasar Inspektorat sebagai data pembanding dengan hasil audit BPKP Perwakilan Papua?

“Itu kan nanti hakim yang punya kewenangan mendeclare kerugian negara sesuai hasil BPKP atau Inspektorat. Sementara jaksa hanya menyerahkan tersangka Jeny Usmani dan Meylani Titaley bersama barang bukti ke pengadilan untuk proses hukum. Ini malah sebaliknya Jaksa pakai hasil audit inspektorat Kabupaten Mimika untuk menghentikan proses penyidikan kasus korupsi yang sudah ada tersangkanya. Ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 21 UU Tipikor dan menghalangi suatu proses penyidikan perkara,” kecamnya.

Rahabav mengaku sejak awal dirinya mensinyalir adanya konspirasi kepentingan politik dibalik kasus korupsi dengan tersangka Jeny Usmani ini.

“Jadi, konspirasi besar ini yang harus dibongkar supaya publik bisa tahu jelas siapa dalang atau aktor dibalik kasus ini sampai mandek di Polda Papua hingga Ombudsman turun tangan. Silahkan publik menilai kredibilitas Jaksa Kejati Papua dalam pemberantasan kasus korupsi di Papua itu pakai sistem apa,” pungkasnya.

Sementara itu, Kasie Penerangan Hukum Kejati Papua Aguwani yang hendak dikonfirmasi melalui pesan singkat WhatsAppnya kembali tak merespon meski ponselnya aktif.

Bahkan, meski status pesannya juga telah menunjukkan centang dua, namun tak juga memberi tanggapan.

Sekedar diketahui, tak hanya soal perintangan kasus yang kini jadi sorotan. Isu suap pun kembali jadi perbincangan hangat dikaitkan dengan kabar upaya perintangan dalam kasus ini.

Kendati demikian, soal isu suap itu masih perlu dibuktikan kebenarannya.

 

Berita Lainnya untuk Anda

Tinggalkan Komen